Teman teman, share lagi ya artikel dari suhu Om di Pusdiklat Pajak. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.
Ditulis oleh Johannes Aritonang, SE., MM (Penulis adalah Widyaiswara di Pusdiklat Pajak)
Abstrak
Adanya kebingungan bagi pemberi kerja dan bagi
pegawai/karyawan atas perlakukan perpajakan khususnya Pajak Penghasilan Pasal
21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas yang dibayar dengan
cara lumpsum (di awal perjalanan dinas), dengan cara reimbursement/penggantian
maupun dengan cara pemberian uang muka. Biaya Perjalanan Dinas yang terdiri
dari tiga komponen biaya yaitu Biaya Transportasi, Biaya Akomodasi dan Uang
Saku seharusnya dibayarkan kepada pegawai berdasarkan Standar Biaya.
Penghitungan Standar Biaya tersebut seharusnya dihitung secara detail dan
menerapkan prinsip kewajaran sehingga setiap pegawai/karyawan yang melakukan
perjalanan dinas tidak sampai harus rugi (“nombok”) namun juga tidak juga membuatnya
menjadi lebih berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan
ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak
penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan).
Dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dianggap
bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan. Perlakuan tidak
mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan
Dinas bagi pegawai pemerintah telah diatur pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas
Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Maka seharusnya pengaturan yang sama
juga berlaku bagi pegawai swasta yaitu terhadap Biaya Perjalanan Dinas bukan
objek Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bagi perusahaan, biaya
tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Kata kunci: biaya perjalanan dinas, lumpsum,
reimbursement, penggantian, objek PPh 21.
Latar Belakang
Perjalanan dinas merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh pegawai dalam sebuah perusahaan, bahkan hal ini juga terjadi
pada instansi pemerintah. Seorang pegawai yang ditugaskan untuk ke luar kantor,
ke luar kota bahkan ke luar negeri pastilah membutuhkan biaya.
Logikanya adalah pegawai yang melakukan perjalanan dinas
seharusnya tidak membuat dirinya menjadi rugi yang disebabkan biaya yang
dikeluarkannya untuk perjalanan dinas lebih besar dibandingkan dengan uang yang
diterima untuk perjalanan dinas tersebut. Atau dalam istilah umum disebut
“nombok”. Teknis pengeluaran biaya perjalanan dinas ini berbeda-beda bagi tiap
perusahaan. Namun bagi instansi pemerintah yang melakukan perjalanan dinas
telah diatur mekanisme biaya dan pembayarannya melalui Peraturan
Menteri.Beberapa perusahaan memberikan uang untuk biaya perjalanan dinas diawal/saat
pegawai akan berangkat untuk dinas, hal ini sering disebut lumpsum.
Namun ada juga perusahaan yang menggunakan sistem pembayaran biaya perjalanan
dinas dengan cara reimbursement (penggantian) atau
dengan dengan memberikan uang muka berdasarkan bukti
–bukti pengeluaran yang diserahkan pegawai. Yang menjadi permasalahan terutama
bagi pegawai yang melakukan perjalanan dinas adalah apakah biaya perjalanan
dinas tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 atau tidak.
Pembahasan
Pengertian Dan Unsur-Unsur Biaya Perjalanan Dinas.
Untuk memudahkan pembahasan, penulis menjelaskan apa saja
yang menjadi komponen biaya perjalanan dinas. Penulis mengambil contoh
peraturan yang menjelaskan komponenbiaya perjalanan dinas yaitu Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas
Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap
(selanjutnya disebut PMK 113/PMK.05/2012). Menurut penulis, objek pajak
penghasilan tidak membedakan apakah pegawai tersebut pegawai negeri sipil
ataupun pegawai swasta.
Setiap Perjalanan Dinas oleh pegawai dilakukan berdasarkan
perintah atasan yang tertuang dalamSurat Tugas. Perjalanan
Dinas ini meliputi: Perjalanan Dinas Jabatan dan Perjalanan Dinas Pindah.
Perjalanan Dinas Jabatan digolongkan menjadi:
- Perjalanan
Dinas Jabatan yang melewati batas Kota; dan
- Perjalanan Dinas Jabatan yang dilaksanakan di dalam Kota.
Komponen Perjalanan Dinas Jabatan adalah:
a. uang harian;
b. biaya transpor;
c. biaya penginapan;
d. uang representasi;
e. sewa kendaraan dalam Kota; dan/atau
f. biaya menjemput/mengantar jenazah.
Komponen Biaya Perjalanan Dinas Pindah adalah:
a. biaya transpor pegawai;
b. biaya transpor keluarga;
c. biaya pengepakan dan angkutan barang; dan/atau
d. uang harian.
Uang harian terdiri atas:
i. uang makan;
ii. uang transpor lokal; dan
iii. uang saku.
Biaya transpor terdiri atas:
i. perjalanan dinas dari Tempat Kedudukan sampai
Tempat Tujuan keberangkatan dan kepulangan termasuk biaya ke terminal
bus/stasiun/bandara/pelabuhan keberangkatan;
ii. retribusi yang dipungut di terminal
bus/stasiun/bandara/pelabuhan keberangkatan dan kepulangan.
Biaya penginapan merupakan biaya yang diperlukan untuk
menginap:
i. di hotel; atau
ii. di tempat menginap lainnya.
Uang representasi merupakan uang yang dapat diberikan kepada
Pejabat Negara, dan dibayarkan secara lumpsum dan merupakan batas tertinggi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar
Biaya.
Cara pembayarannya Biaya Perjalanan Dinas:
- Dengan
cara lumpsum yaitu: Pembayaran sekaligus di awal
uang perjalanan dinas berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated
amount).
- Dengan
cara reimbursement/penggantian yaitu: penggantian biaya yang
telah dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti.
- Dengan
cara pemberian uang muka.
Apakah biaya perjalanan dinas merupakan objek pajak
penghasilan?
Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang PPh) menganut
prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa “pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.”
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis.
Objek Pajak Penghasilan sehubungan dengan yang diterima
pegawai dari pemberi kerja menurut pasal 4 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang PPh
adalah “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Pada bagian penjelasannya
ditambahkan bahwa “semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang
dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek
Pajak.Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam
bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.”
Dengan kata lain pasal 4 ayat 1 huruf a dan penjelasannya
menyatakan bahwa jumlah yang diterima atau diperolehpegawai berkaitan
erat dengan semua pembayaranyang dibayar oleh pemberi kerja.
Objek pajak penghasilan dalam pembagian Undang-Undang PPh
berada pada Bab IV yang meliputi jumlah yang diterima yang disebut
penghasilan (pasal 4 dan 5) dan jumlah yang mengurangkan
penghasilan disebut biaya (pasal 6).
Pasal 6 ayat 1 menyatakan “Besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a.biaya yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1.biaya pembelian bahan;
2.biaya berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang;
3.bunga, sewa, dan royalti;
4.biaya perjalanan;
5.biaya pengolahan limbah;
6.premi asuransi;
7.biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8.biaya administrasi; dan
9.pajak kecuali Pajak Penghasilan
Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya
sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat
dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebutharus mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatanuntuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.Dengan
demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan kegiatan usaha di atas ternyata berada pada nomor yang berbeda
antara biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
(nomor“a.2”), dengan biaya perjalanan (nomor “a.4”).
Jadi Biaya Perjalanan yang dimaksud pada
pasal 6 ayat 1 huruf a angka 4 Undang-Undang PPh adalah biaya
perjalanan dinas. Pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya
perjalanan dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan
pekerjaan.
Karena bukan merupakan imbalan pekerjaan, maka
seharusnya biaya perjalanan dinas bukan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal
21 bagi pegawai penerimanya.
Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan perpajakan terhadap
penghasilan pegawai yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER -
31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi (selanjutnya
disingkat dengan Per Dirjen Pajak No-31/2012) beserta lampirannya.
Menurut Per Dirjen Pajak No.31/PJ/2012 pasal 1 poin 2
dinyatakan bahwa Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas
penghasilanberupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak
dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Pada Lampiran Per Dirjen No. 31/PJ/2012 berisi batasan-batasan dan
contoh-contoh penghitungan Pajak Penghasilan pasal 21 yang diterima oleh Orang
Pribadi namun pada Lampiran tersebut tidak terdapat contoh
penghitungan pajak penghasilan pasal 21 terhadap biaya
perjalanan dinas yang diterima pegawai.
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Biaya Perjalanan
Dinas bagi Pegawai Pemerintah.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi
Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah selanjutnya disebut PMK No.262/PMK.03/2010.
Pasal 2 dan Pasal 3 PMK No.262/PMK.03/2010 menjelaskan Penghasilan
Yang Dikenai PPh Pasal 21.
Pasal 2
- PPh
Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban
APBN atau APBD.
- Penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat 1) meliputi penghasilan tetap dan teratur
bagi:
- Pejabat
Negara, untuk:
i. gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan; atau
ii. imbalan tetap sejenisnya,
- PNS,
Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang
sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Pensiunan,
untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur
setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- Termasuk
dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat 2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13
(ketiga belas).
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat 2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun
yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat
final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.
Dari kedua peraturan tersebut yaitu PMK No.113/PMK.05/2012
dan PMK No.262/PMK.03/2010 menetapkan bahwa biaya perjalanan dinas
bukanlah merupakan penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21.
Penulis melihat bahwa kunci dari kedua peraturan ini
adalah penghitungan Standar Biaya. Pemerintah diasumsikan telah
menghitung Standar Biaya dengan sangat ketat dengan memperhatikan berbagai
faktor biaya di daerah yang menjadi tempat dilakukannya perjalanan dinas.
Standar Biaya perjalanan dinas ini tidak sama untuk tiap daerah. Asumsi penulis
adalah bahwa siapapun pegawai yang melakukan perjalanan dinas, diasumsikan akan
membelanjakan uang yang diterima dari Bendaharawan Negara sehingga tidak ada
sisa uang yang dapat dijadikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis pegawai yang
bersangkutan.Standar Biaya perjalanan dinas ini tidak sama untuk tiap daerah.
Kementerian Keuangan telah menghitung secara wajar dan sedetail mungkin standar
biaya untuk tiap daerah agar siapapun yang melakukan perjalanan dinas tidak
sampai harus rugi namun juga tidak membuatnya berkelebihan uang/mempunyai
kemampuan ekonomis.
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Biaya Perjalanan
Dinas bagi Pegawai Swasta.
Tiap-tiap perusahaan mempunyai aturan dan standar biaya
dalam menetapkan besaran biaya perjalanan dinas. Jika dibandingkan dengan
unsur-unsur biaya perjalanan dinas pada pegawai pemerintah (PMK
113/PMK.05/2012), secara umum pada perusahaan swasta juga biaya perjalanan
dinas dapat dibagi atas tiga komponen:
- Biaya
Transportasi (tiket keberangkatan dan kepulangan)
- Biaya
Akomodasi (hotel/penginapan, penyewaan kenderaan, pengepakan barang)
- Uang
Saku (uang makan harian, transport lokal, biaya komunikasi).
Cara pembayarannya:
- Dengan
cara lumpsum yaitu: Pembayaran sekaligus di awal uang perjalanan
dinas berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated
amount).
- Dengan
cara reimbursement/ penggantian yaitu dengan cara penggantian biaya yang
telah dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti.
- Dengan
cara pemberian uang muka.
Pastilah setiap perusahaan sudah menghitung standar biaya
bagi komponen biaya di atas. Standar biaya tersebut dihitung dengan menerapkan prinsip
kewajaran, sehingga siapapun yang melakukan perjalanan dinas tidak sampai harus
rugi namun juga tidak juga membuatnya menjadi berkelebihan uang. Bukti-bukti
pengeluaran sangat penting untuk setiap komponen biaya di atas. Biaya
transportasi dan biaya akomodasi pasti mempunyai bukti pengeluaran yang gampang
diperoleh. Tetapi untuk komponen Uang Saku bukti biayanya sulit diperoleh.
Perusahaan dapat menerapkan beberapa cara.
- Pengembalian
uang sisa.
Jika sistim pembayaran Biaya Perjalanan Dinas dengan cara
lumpsum, setiap pegawai yang pulang dari perjalanan dinas dapat membuatkan
perincian biaya yang telah dikeluarkan secara wajar dan mengembalikan uang
sisanya.
2. Sistim penggantian biaya/reimbursement.
Jika sistim pemberian uang perjalanan dinas dengan cara
reimbursement/penggantian atau dengan cara pemberian uang muka, maka setiap
pegawai yang pulang dari perjalanan dinas dapat membuatkan perincian biaya yang
telah dikeluarkannya secara wajar dan perusahaan memberikan penggantian biaya.
Berdasarkan sistem pembayaran diatas dapat diperkirakan
bahwa setiap pegawai yang melakukan perjalanan dinas tidak akan
berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis seperti
yang dinyatakan pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak
Penghasilan). Jika perusahaan menerapkan cara tidak memerlukan bukti
pengeluaran atas komponen Uang Saku tersebut, maka seharusnya
perusahaan sudah menghitung dengan cara yang sangat detail dan wajar semua
pengeluaran yang akan dijadikan sebagai komponen Uang Saku tersebut, sehingga
Uang Saku tersebut dianggap habis saat pegawai melakukan perjalanan
dinas.
Jika perusahaan mengeluarkan uang untuk Biaya Perjalanan
Dinas dengan cara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pegawai tersebut tidak
akan berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis. Sehingga
seharusnya terhadap Biaya Perjalanan Dinas bukanlah merupakan
Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi karyawan/pegawai yang
menerimanya karena menurut pasal 6 ayat 1 Undang-Undang PPh, pembayaran oleh
pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dianggap
bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan dan terhadap
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dijadikan sebagai
pengurang penghasilan bruto (pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Pajak
Penghasilan).
Kesimpulan:
Biaya Perjalanan Dinas yang terdiri dari tiga komponen biaya
yaitu Biaya Transportasi, Biaya Akomodasi dan Uang Saku dapat dibayarkan kepada
pegawai yang melakukan perjalanan dinas dengan cara lumpsum (pembayaran di
awal), reimbursement/penggantian, ataupun dengan cara pemberian uang muka
seharusnya tidak membuat pegawai menjadi berkelebihan uang yang
membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis seperti yang dinyatakan
pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak
Penghasilan). Instansi Pemerintah/Perusahaan seyogyanya mengeluarkan Surat
Tugas bagi pegawai yang ditugaskan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban
tugasnya pegawai tersebut membuat laporan yang disertai dengan dan rincian
biaya yang dikeluarkan serta jika perusahaan menerapkan sistim pengembalian
uang sisa, maka pegawai tersebut harus mengembalikan sisa uang perjalanan yang
diterima di muka.
Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang PPh, pembayaran oleh pemberi
kerja sehubungan dengan Biaya Perjalanan Dinas dianggap bukan
sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan dan Biaya Perjalanan
Dinas dianggap tidak memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi pegawai /
karyawan, maka terhadap biaya ini tidak merupakan objek pajak
penghasilan bagi yang menerimanya. Perlakuan tidak mengenakan
Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi pegawai
pemerintah telah diatur pada PMK Nomor 262/PMK.03/2010, maka seharusnya
pengaturan yang sama juga berlaku bagi pegawai swasta yaitu terhadap Biaya Perjalanan
Dinasbukan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bagi
perusahaan, biaya tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Daftar Pustaka:
1. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 tahun 2008
Republik Indonesia,
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota
Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan
Dan Belanja
Negara Atau
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Republik Indonesia,
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi
Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap Republik Indonesia,
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan
Kegiatan Orang Pribadi
5. Mulyono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak: Pajak
Penghasilan, Yogyakarta: CV ANDI OFFSET
0 komentar:
Post a Comment