Sunday 18 October 2015

Biaya Perjalanan Dinas terkait PPh 21

Teman teman, share lagi ya artikel dari suhu Om di Pusdiklat Pajak. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.


Ditulis oleh Johannes Aritonang, SE., MM (Penulis adalah Widyaiswara di Pusdiklat Pajak)
Abstrak
Adanya kebingungan bagi pemberi kerja dan bagi pegawai/karyawan atas perlakukan perpajakan khususnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas yang dibayar dengan cara lumpsum (di awal perjalanan dinas), dengan cara reimbursement/penggantian maupun dengan cara pemberian uang muka. Biaya Perjalanan Dinas yang terdiri dari tiga komponen biaya yaitu Biaya Transportasi, Biaya Akomodasi dan Uang Saku seharusnya dibayarkan kepada pegawai berdasarkan Standar Biaya. Penghitungan Standar Biaya tersebut seharusnya dihitung secara detail dan menerapkan prinsip kewajaran sehingga setiap pegawai/karyawan yang melakukan perjalanan dinas tidak sampai harus rugi (“nombok”) namun juga tidak juga membuatnya menjadi lebih berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan).
Dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan. Perlakuan tidak mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi pegawai pemerintah telah diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Maka seharusnya pengaturan yang sama juga berlaku bagi pegawai swasta yaitu terhadap Biaya Perjalanan Dinas bukan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bagi perusahaan, biaya tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto.

Kata kunci: biaya perjalanan dinas, lumpsum, reimbursement, penggantian, objek PPh 21.
Latar Belakang

Perjalanan dinas merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dalam sebuah perusahaan, bahkan hal ini juga terjadi pada instansi pemerintah. Seorang pegawai yang ditugaskan untuk ke luar kantor, ke luar kota bahkan ke luar negeri pastilah membutuhkan biaya.
Logikanya adalah pegawai yang melakukan perjalanan dinas seharusnya tidak membuat dirinya menjadi rugi yang disebabkan biaya yang dikeluarkannya untuk perjalanan dinas lebih besar dibandingkan dengan uang yang diterima untuk perjalanan dinas tersebut. Atau dalam istilah umum disebut “nombok”. Teknis pengeluaran biaya perjalanan dinas ini berbeda-beda bagi tiap perusahaan. Namun bagi instansi pemerintah yang melakukan perjalanan dinas telah diatur mekanisme biaya dan pembayarannya melalui Peraturan Menteri.Beberapa perusahaan memberikan uang untuk biaya perjalanan dinas diawal/saat pegawai akan berangkat untuk dinas, hal ini sering disebut lumpsum. Namun ada juga perusahaan yang menggunakan sistem pembayaran biaya perjalanan dinas dengan cara reimbursement (penggantian) atau dengan dengan memberikan uang muka berdasarkan bukti –bukti pengeluaran yang diserahkan pegawai. Yang menjadi permasalahan terutama bagi pegawai yang melakukan perjalanan dinas adalah apakah biaya perjalanan dinas tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 atau tidak.
Pembahasan
Pengertian Dan Unsur-Unsur Biaya Perjalanan Dinas.
Untuk memudahkan pembahasan, penulis menjelaskan apa saja yang menjadi komponen biaya perjalanan dinas. Penulis mengambil contoh peraturan yang menjelaskan komponenbiaya perjalanan dinas yaitu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap (selanjutnya disebut PMK 113/PMK.05/2012). Menurut penulis, objek pajak penghasilan tidak membedakan apakah pegawai tersebut pegawai negeri sipil ataupun pegawai swasta.
Setiap Perjalanan Dinas oleh pegawai dilakukan berdasarkan perintah atasan yang tertuang dalamSurat Tugas. Perjalanan Dinas ini meliputi: Perjalanan Dinas Jabatan dan Perjalanan Dinas Pindah.
Perjalanan Dinas Jabatan digolongkan menjadi:
  1. Perjalanan Dinas Jabatan yang melewati batas Kota; dan
  2. Perjalanan Dinas Jabatan yang dilaksanakan di dalam Kota.
Komponen Perjalanan Dinas Jabatan adalah:
a.   uang harian;
b.  biaya transpor;
c.   biaya penginapan;
d.   uang representasi;
e.  sewa kendaraan dalam Kota; dan/atau
f.   biaya menjemput/mengantar jenazah.
Komponen Biaya Perjalanan Dinas Pindah adalah:
a.   biaya transpor pegawai;
b.    biaya transpor keluarga;
c.     biaya pengepakan dan angkutan barang; dan/atau
d.    uang harian.
Uang harian terdiri atas:
i.        uang makan;
ii.      uang transpor lokal; dan
iii.    uang saku.
Biaya transpor terdiri atas:
i.    perjalanan dinas dari Tempat Kedudukan sampai Tempat Tujuan keberangkatan dan kepulangan termasuk biaya ke terminal bus/stasiun/bandara/pelabuhan keberangkatan;
ii.    retribusi yang dipungut di terminal bus/stasiun/bandara/pelabuhan keberangkatan dan kepulangan.
Biaya penginapan merupakan biaya yang diperlukan untuk menginap:
i.      di hotel; atau
ii.   di tempat menginap lainnya.
Uang representasi merupakan uang yang dapat diberikan kepada Pejabat Negara, dan dibayarkan secara lumpsum dan merupakan batas tertinggi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar Biaya.
Cara pembayarannya Biaya Perjalanan Dinas:
  1. Dengan cara lumpsum yaitu: Pembayaran sekaligus di awal uang perjalanan dinas berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount).
  2. Dengan cara reimbursement/penggantian yaitu: penggantian biaya yang telah dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti.
  3. Dengan cara pemberian uang muka.
Apakah biaya perjalanan dinas merupakan objek pajak penghasilan?
Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang PPh) menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa “pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.”
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Objek Pajak Penghasilan sehubungan dengan yang diterima pegawai dari pemberi kerja menurut pasal 4 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang PPh adalah “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Pada bagian penjelasannya ditambahkan bahwa “semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.”
Dengan kata lain pasal 4 ayat 1 huruf a dan penjelasannya menyatakan bahwa jumlah yang diterima atau diperolehpegawai berkaitan erat dengan semua pembayaranyang dibayar oleh pemberi kerja.
Objek pajak penghasilan dalam pembagian Undang-Undang PPh berada pada Bab IV yang meliputi jumlah yang diterima yang disebut penghasilan (pasal 4 dan 5) dan jumlah yang mengurangkan penghasilan disebut biaya (pasal 6).
Pasal 6 ayat 1 menyatakan “Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

a.biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1.biaya pembelian bahan;
2.biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3.bunga, sewa, dan royalti;
4.biaya perjalanan;
5.biaya pengolahan limbah;
6.premi asuransi;
7.biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8.biaya administrasi; dan
9.pajak kecuali Pajak Penghasilan

Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebutharus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatanuntuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajaktidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha di atas ternyata berada pada nomor yang berbeda antara biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (nomor“a.2”), dengan biaya perjalanan (nomor “a.4”).

Jadi Biaya Perjalanan yang dimaksud pada pasal 6 ayat 1 huruf a angka 4 Undang-Undang PPh adalah biaya perjalanan dinas. Pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan.
Karena bukan merupakan imbalan pekerjaan, maka seharusnya biaya perjalanan dinas bukan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pegawai penerimanya.  
Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan perpajakan terhadap penghasilan pegawai yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi (selanjutnya disingkat dengan Per Dirjen Pajak No-31/2012) beserta lampirannya.

Menurut Per Dirjen Pajak No.31/PJ/2012 pasal 1 poin 2 dinyatakan bahwa Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilanberupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada Lampiran Per Dirjen No. 31/PJ/2012 berisi batasan-batasan dan contoh-contoh penghitungan Pajak Penghasilan pasal 21 yang diterima oleh Orang Pribadi namun pada Lampiran tersebut tidak terdapat contoh penghitungan pajak penghasilan pasal 21 terhadap biaya perjalanan dinas yang diterima pegawai.

Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi Pegawai Pemerintah.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah selanjutnya disebut PMK No.262/PMK.03/2010.
Pasal 2 dan Pasal 3 PMK No.262/PMK.03/2010 menjelaskan Penghasilan Yang Dikenai PPh Pasal 21.
Pasal 2
  1. PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
  2. Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat 1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
    1. Pejabat Negara, untuk:
i.    gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
ii.     imbalan tetap sejenisnya,
    1. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    2. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.
Dari kedua peraturan tersebut yaitu PMK No.113/PMK.05/2012 dan PMK No.262/PMK.03/2010 menetapkan bahwa biaya perjalanan dinas bukanlah merupakan penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21.
Penulis melihat bahwa kunci dari kedua peraturan ini adalah penghitungan Standar Biaya. Pemerintah diasumsikan telah menghitung Standar Biaya dengan sangat ketat dengan memperhatikan berbagai faktor biaya di daerah yang menjadi tempat dilakukannya perjalanan dinas. Standar Biaya perjalanan dinas ini tidak sama untuk tiap daerah. Asumsi penulis adalah bahwa siapapun pegawai yang melakukan perjalanan dinas, diasumsikan akan membelanjakan uang yang diterima dari Bendaharawan Negara sehingga tidak ada sisa uang yang dapat dijadikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis pegawai yang bersangkutan.Standar Biaya perjalanan dinas ini tidak sama untuk tiap daerah. Kementerian Keuangan telah menghitung secara wajar dan sedetail mungkin standar biaya untuk tiap daerah agar siapapun yang melakukan perjalanan dinas tidak sampai harus rugi namun juga tidak membuatnya berkelebihan uang/mempunyai kemampuan ekonomis.
Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi Pegawai Swasta.
Tiap-tiap perusahaan mempunyai aturan dan standar biaya dalam menetapkan besaran biaya perjalanan dinas. Jika dibandingkan dengan unsur-unsur biaya perjalanan dinas pada pegawai pemerintah (PMK 113/PMK.05/2012), secara umum pada perusahaan swasta juga biaya perjalanan dinas dapat dibagi atas tiga komponen:

  1. Biaya Transportasi (tiket keberangkatan dan kepulangan)
  2. Biaya Akomodasi (hotel/penginapan, penyewaan kenderaan, pengepakan barang)
  3. Uang Saku (uang makan harian, transport lokal, biaya komunikasi).

Cara pembayarannya:

  1. Dengan cara lumpsum yaitu: Pembayaran sekaligus di awal uang perjalanan dinas berdasarkan yang telah dihitung terlebih dahulu (pre-calculated amount).
  2. Dengan cara reimbursement/ penggantian yaitu dengan cara penggantian biaya yang telah dikeluarkan pegawai berdasarkan bukti-bukti.
  3. Dengan cara pemberian uang muka.

Pastilah setiap perusahaan sudah menghitung standar biaya bagi komponen biaya di atas. Standar biaya tersebut dihitung dengan menerapkan prinsip kewajaran, sehingga siapapun yang melakukan perjalanan dinas tidak sampai harus rugi namun juga tidak juga membuatnya menjadi berkelebihan uang. Bukti-bukti pengeluaran sangat penting untuk setiap komponen biaya di atas. Biaya transportasi dan biaya akomodasi pasti mempunyai bukti pengeluaran yang gampang diperoleh. Tetapi untuk komponen Uang Saku bukti biayanya sulit diperoleh. Perusahaan dapat menerapkan beberapa cara.


  1. Pengembalian uang sisa.
Jika sistim pembayaran Biaya Perjalanan Dinas dengan cara lumpsum, setiap pegawai yang pulang dari perjalanan dinas dapat membuatkan perincian biaya yang telah dikeluarkan secara wajar dan mengembalikan uang sisanya.

2. Sistim penggantian biaya/reimbursement.
Jika sistim pemberian uang perjalanan dinas dengan cara reimbursement/penggantian atau dengan cara pemberian uang muka, maka setiap pegawai yang pulang dari perjalanan dinas dapat membuatkan perincian biaya yang telah dikeluarkannya secara wajar dan perusahaan memberikan penggantian biaya.
Berdasarkan sistem pembayaran diatas dapat diperkirakan bahwa setiap pegawai yang melakukan perjalanan dinas tidak akan berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan). Jika perusahaan menerapkan cara tidak memerlukan bukti pengeluaran atas komponen Uang Saku tersebut, maka seharusnya perusahaan sudah menghitung dengan cara yang sangat detail dan wajar semua pengeluaran yang akan dijadikan sebagai komponen Uang Saku tersebut, sehingga Uang Saku tersebut dianggap habis saat pegawai melakukan perjalanan dinas.
Jika perusahaan mengeluarkan uang untuk Biaya Perjalanan Dinas dengan cara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pegawai tersebut tidak akan berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis. Sehingga seharusnya terhadap Biaya Perjalanan Dinas bukanlah merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi karyawan/pegawai yang menerimanya karena menurut pasal 6 ayat 1 Undang-Undang PPh, pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan dan terhadap biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto (pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan).
           

Kesimpulan:

Biaya Perjalanan Dinas yang terdiri dari tiga komponen biaya yaitu Biaya Transportasi, Biaya Akomodasi dan Uang Saku dapat dibayarkan kepada pegawai yang melakukan perjalanan dinas dengan cara lumpsum (pembayaran di awal), reimbursement/penggantian, ataupun dengan cara pemberian uang muka seharusnya tidak membuat pegawai menjadi berkelebihan uang yang membuatnya mempunyai kemampuan ekonomis seperti yang dinyatakan pada definisi objek pajak penghasilan (pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan). Instansi Pemerintah/Perusahaan seyogyanya mengeluarkan Surat Tugas bagi pegawai yang ditugaskan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban tugasnya pegawai tersebut membuat laporan yang disertai dengan dan rincian biaya yang dikeluarkan serta jika perusahaan menerapkan sistim pengembalian uang sisa, maka pegawai tersebut harus mengembalikan sisa uang perjalanan yang diterima di muka.
Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang PPh, pembayaran oleh pemberi kerja sehubungan dengan Biaya Perjalanan Dinas dianggap bukan sebagai imbalan berkenaan dengan pekerjaan dan Biaya Perjalanan Dinas dianggap tidak memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi pegawai / karyawan, maka terhadap biaya ini tidak merupakan objek pajak penghasilan bagi yang menerimanya. Perlakuan tidak mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap Biaya Perjalanan Dinas bagi pegawai pemerintah telah diatur pada PMK Nomor 262/PMK.03/2010, maka seharusnya pengaturan yang sama juga berlaku bagi pegawai swasta yaitu terhadap Biaya Perjalanan Dinasbukan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bagi perusahaan, biaya tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto.

Daftar Pustaka:

1. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008
Republik Indonesia, 
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara    Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota   Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan         Belanja            Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Republik Indonesia, 
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan   Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap Republik Indonesia, 
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi

5. Mulyono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak: Pajak Penghasilan, Yogyakarta: CV ANDI OFFSET



0 komentar:

Post a Comment