Berbagi cerita lagi yah, dari suhu om di BDK Denpasar.
BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS
Trisulo
Widyaiswara BDK Denpasar
Abstraksi
Perjalanan dinas adalah sebuah keharusan, dan sering
melekatpada pelaksanaan tugas dan fungsi satuan kerja. Oleh karena itu
disediakan dana dalam APBN untuk keperluan belanja perjalanan dinas. Petunjuk
pelaksanaan juga sudah diterbitkan sebagai pengaturan pelaksanaan
perjalanan dinas dan pembayarannya. Akan tetapi masih ditemukan
berbagai permasalahan yang perlu dicari penyelesaiannya. Tulisan ini
adalah opini dalam menentukan solusi permasalahan perjalanan dinas.
Penyelesaian masalah pada perjalanan dinas seyogyanya tetap mengacu pada
prinsip-prinsip: selektif, ketersediaan anggaran, efisiensi, dan akuntabilitas.
Keywords : perjalanan dinas, efisiensi, akuntabilitas
Pendahuluan
Perjalanan dinas dalam negeri bagi pejabat negara, pegawai
negeri, dan pegawai tidak tetap (selanjutnya dalam tulisan ini disebut perjalanan
dinas saja) dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya melibatkan
setidaknya :
- Penerbit
Surat Tugas
- Pejabat
Pembuat Komitmen
- Pelaksana
perjalanan dinas
Kemudian saat pertanggungjawaban melibatkan Bendahara
Pengeluaran dan Pejabat Penandatangan Surat perintah Membayar (PPSPM).
Pertanggungjawaban perjalanan dinas dengan sistem at
cost dapat menekan beban APBN pada belanja perjalanan. Peraturan
Menteri Keuangan menggabungkan metode at cost dan lumpsumsejak
tahun 2007, dan telah beberapa kali dilakukan revisi terhadap peraturan
perjalanan dinas. Dalam pelaksanaannya, ternyata terdapat banyak kasus
perjalanan dinas yang tidak mudah dibuat penyelesaiannya karena tidak
terakomodir oleh peraturan. Perjalanan dinas memiliki kompleksitas yang
berbeda tiap instansi. Tidak sekedar bergerak dari satu posisi ke posisi
yang lain, kemudian dibayar tiket moda transportasinya dan seterusnya.
Untuk itu Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri
Nomor 113/PMK.05/2012 Tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Dan sebagai tindak lanjutnya
Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Peraturan Dirjen Nomor
Per-22/PB/2013.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perjalanan dinas
sebagaimana telah disebut di atas, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip
pelaksanaan perjalanan dinas sebagaimana dimaksud pada pasal 3
PMK-113/PMK.05/2012 yaitu :
a.
selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang
sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan;
b.
ketersediaan anggaran dan kesesuaian dengan
pencapaian kinerja Kementerian Negara/Lembaga;
c.
efisiensi penggunaan belanja negara; dan
d.
akuntabilitas pemberian perintah pelaksanaan
Perjalanan Dinas dan pembebanan biaya Perjalanan Dinas.
Uraian berikut ini adalah beberapa permasalahan yang
dihadapi dalam pelaksanaan perjalanan dinas dan alternatif solusinya.
Pada saat dihadapkan pada masalah yang tidak secara eksplisit tercantum pada
kedua peraturan di atas maupun pada standar biaya, maka para pihak yang terkait
dengan perjalanan dinas hendaknya pada prinsip-prinsip perjalanan dinas.
Berangkat bukan dari tempat kedudukan dan/atau
kembali tidak ke tempat kedudukan, dapatkah dibayarkan biaya transpornya?
Biaya transpor, merupakan komponen dari biaya perjalanan
dinas sesuai dengan pasal 9 Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor
Per-22/PB/2013 dan Pasal 8 Peraturan Menteri
KeuanganNo.PMK-113/PMK.05/2012, disebutkan bahwa komponen biaya perjalanan
dinas jabatan terdiri dari:
a.
Uang harian
b.
Biaya transport
c.
Biaya penginapan
d.
Uang representatif
e.
Sewa kendaraan dalam kota, dan/atau
f.
Biaya menjemput/mengantar jenazah
Pada ayat (3) pasal 8 PMK-113/PMK.05/2012 lebih
ditegaskan lagi apa yang dimaksud dengan biaya transpor. Biaya
transpor merupakan biaya yang diperlukan untuk :
a.
perjalanan dinas dari Tempat Kedudukan sampai
Tempat Tujuan keberangkatan dan kepulangan termasuk biaya ke terminal bus/
stasiun/ bandara/ pelabuhan keberangkatan;
b.
retribusi yang dipungut di terminal bus/stasiun/
bandara/pelabuhan keberangkatan dan kepulangan
Dalam pelaksanaannya, ditemukan permasalahan terkait
berangkat dan kembalinya pejabat negara/pegawai/pegawai tidak tetap yang
melaksanakan perjalanan dinas. Permasalahan tersebut antara lain tidak
berangkat dari tempat kedudukan, kembali tidak ke tempat kedudukan semula, atau
yang lebih ekstrim adalah berangkat dan kembali tidak dari tempat dan ke tempat
kedudukan seharusnya sesuai dengan surat perintah perjalanan dinas.
Pertanyaannya apakah dapat dibayarkan biaya transpornya. Kasus tersebut
dapat muncul di lapangan karena :
- Akhir
masa perjalanan dinas sebelumnya, atau
- Pegawai
yang melakukan perjalanan dinas mendapat Surat Tugas tepat pada akhir masa
cutitahunan.
Walaupun dalam ketentuan pelaksana perjalanan dinas harus
berangkat dan kembali dari tempat kedudukan satuan kerja, namun fakta di atas
tidak bisa dihindari. Sebagai ilustrasi misalnya : si Komo bekerja di
Kendari, mendapat tugas diklat dari tanggal 1 sampai 3 di Pusdiklat Anggaran
dan Perbendaharaan, Bogor. Pada tanggal 4 ada rapat koordinasi di
Jakarta, dan hanya si Komo yang memenuhi kriteria dari satker untuk
mewakili.
Menjawab pertanyaan pada kasus pertama, maka perlu dipilah
untuk setiap permasalahan. Untuk surat tugas yang kedua, pelaksana perjalanan
dinas berangkat tidak dari tempat kedudukan seharusnya yang terdapat dalam
surat perjalanan dinas. Menurut hemat penulis, penyelesaiannya adalah sebagai
berikut:
a.
Pegawai yang bersangkutan membawa Surat
Perjalanan Dinas (SPD) ke lokasi tugas kedua untuk mendapatkan pengesahan.
b.
Dibayarkan biaya transpor dari tempat penugasan
pertama ke tempat penugasan kedua. Biaya transpornya dapat
dibayarkan bagi pegawai yang melakukan perjalanan dinas berangkat
dari tempat atau kota yang jaraknya lebih dekat ataupun lebih jauhke tempat
tujuan dibandingkan dengan tempat kedudukan. Demikian juga dengan
besaran biaya, apakah lebih kecil ataupun lebih besar dibandingkan dengan
biaya berangkat dari tempat kedudukan seharusnya. Hal ini didasarkan
pada prinsip efisiensi penggunaan belanja negara dan sepanjang dapat
mempertanggungjawabkan bukti pengeluaran perjalanan dinasnya.
c.
Bahkan, apabila pada kasus tersebut ternyata
biaya transpornya lebih besar dibandingkan jika berangkat dari tempat
kedudukan, tetap bisa dibayarkan. Argumen ini dengan memperhatikan
komponen perjalanan dinas sebagaimana pasal 8 PMK 113/PMK.05/2012. Bahwa
jika pegawai yang melakukan perjalanan dinas harus kembali ke tempat kedudukan
sebelum melakukan perjalanan dinas yang kedua, hanya dengan pertimbangan
mendapatkan biaya transpor yang lebih murah, maka justru dimungkinkan menambah
beban belanja dari unsur uang harian, transpor dalam kota, dan atau penginapan
(bila diperlukan). Tentu ini menyalahi prinsip efisiensi
perjalanan dinas.
d.
Disebutkan dalam pasal 3 ayat (2) Per-22/PB/2013
bahwa tidak diperkenankan memecah pelaksanaan perjalanan dinas apabila suatu
kegiatan dapat dilaksanakan secara sekaligus. Dengan menggunakan logika
hukum argumen a contrario, maka sepanjang perjalanan dinas lebih
efektif untuk disatukan, seyogyanya disatukan saja. Pilihan ini
diambil asalkan pelaksana perjalanan, tempat tujuan, dan kinerja yang
dihasilkan sama.
Bagaimana pula jika pelaksana perjalanan dinas tidak kembali
ke tempat kedudukan seharusnya yang terdapat dalam surat perjalanan dinas?
Pada dasarnya penyelesaiannya sama dengan permasalahan sebelumnya.
Kejadian tersebut mungkin terjadi bila dengan satu sebab misalnya
pelaksanaan tugas berurutan dengan masa cuti pegawai, baik sebelum maupun
sesudahnya. Pada beberapa instansi tidak memperkenankan pegawainya
mengambil cuti tahunan yang bersambung harinya dengan pelaksanaan
perjalanan dinas. Tapi dalam prakteknya sering tidak bisa dihindari
terjadinya peristiwa tersebut. Permasalahannya adalah, bisakah uang
transpornya dibayarkan dari/ke tempat cuti yang tidak satu kota dengan tempat
kedudukan?
Apabila pimpinan instansi memberlakukan pengaturan khusus
tentang cuti pegawai, PPK wajib memperhatikan ketentuan khusus tersebut.
Namun, bila tidak diatur khusus tentang masa cuti yang berurutan dengan
perjalanan dinas, penulis menyarankan penyelesaiannya sebagai
berikut:
a.
Dapat dibayarkan biaya transpornya bila :
- Jarak
dari tempat cuti ke tempat tujuan perjalanan dinas lebih dekat
daripada ke tempat kedudukan, atau
- Biayanya
lebih kecil walaupun jaraknya lebih jauh dibandingkan ke tempat
kedudukan.
b. Pertimbangan penulis untuk dapat
dibayarkan adalah :
- Bahwa
cuti merupakan hak pegawai yang diberikan oleh negara. Tetapi tidak
melepaskan tanggungjawab pegawai kepada negara. Artinya, bila dalam
masa cuti tersebut negara meminta atau memerintahkan untuk melepaskan
sebagian hak cutinya, pegawai tersebut secara prinsip harus
melaksanakan. Konsekuensinya, apabila perintah tersebut
mengakibatkan timbulnya biaya perjalanan dinas, maka biaya transpor dari
tempat cuti ke tempat tujuan dapat dibayarkan. Jadi sesuai prinsip
akuntabilitas, pembayaran biaya transpor dari tempat cuti ke tempat tujuan
perjalanan dinas dapat dipertanggungjawabkan
- Ditinjau
dari efisiensi biaya, sebagaimana menjadi salah satu prinsip diatas,
justru akan memungkinkan timbulnya komponen biaya lainnya (selain
transpor) bila pegawai pelaksana perjalanan dinas harus berangkat mulai
dari tempat kedudukan.
Pertimbangan tersebut, menurut hemat penulis tidak bisa
dipersamakan dengan pegawai yang mengambil cuti tahunan menyambung atau
berurutan setelah perjalanan dinas. Ini artinya, pegawai pelaksana
perjalanan dinas tidak kembali ke tempat kedudukan, tetapi kembali ke tempat
cuti. Bila tempat cuti berbeda dengan tempat kedudukan, biaya transpor
hanya bisa dibayarkan hanya dengan syarat :
- Jaraknya
tempat cuti lebih dekat ke tempat tujuan,
- Tempat
cuti berada diantara tempat kedudukan dan tempat tujuan
- Tempat
cuti bagian trayek yang logis moda transportasi dari tempat tujuan
ke tempat kedudukan atau sebaliknya.
Adapun biaya transpor yang dibayarkan adalah tarif dari
tempat tujuan ke tempat cuti.
Biaya transpor pesawat kelas bisnis, dapatkah dibayarkan?
Dalam lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012,
diatur tentang fasillitas transport bagi pejabat negara dan pegawai yang
melaksanakan perjalanan dinas. Bagi pejabat negara, dibagi dalam tingkat
perjalanan A dan B. Sedangkan untuk pejabat eselon III kebawah dan pegawai
dikategorikan dalam tingkat perjalanan B. Masing-masing tingkat mempunyai
fasilitas tingkat perjalanan yang berbeda termasuk transportasinya. Sebagai
contoh pegawai dengan tingkat perjalanan A berhak untuk menggunakan
moda transportasi pesawat kelas bisnis, sedangkan tingkat perjalanan dinas B
dan C hanya berhak menggunakan kelas ekonomi.
Dalam pelaksanaannya, seorang pegawai dengan tingkat
perjalanan dinas B diperintahkan melaksanakan perjalanan dinas bersama-sama
dengan pegawai dengan tingkat perjalanan dinas C. Untuk kepentingan koordinasi
dan sebagainya, maka pegawai dengan tingkat perjalanan dinas C diperintahkan
untuk ikut dalam kelas bisnis moda transportasi pesawat bersama-sama dengan
pegawai dengan tingkat perjalanan dinas B. Pertanyaannya adalah, apakah biaya
transpor dapat dibayarkan.
Pengaturan tentang pembagian tingkat perjalanan dinas untuk
fasilitas transportasi harus dipenuhi. Artinya setiap pejabat
negara/pegawai/pegawai tidak tetap mengikuti pembagian tingkat dalam perjalanan
dinas. Apabila terjadi permasalahan tersebut diatas, maka yang dapat dibayarkan
adalah kelas ekonomi bagi pegawai dengan tingkat perjalanan dinas C. Cara menghitungnya
adalah menggunakan biaya transport kelas ekonomi yang berlaku di pesawat
tersebut. Hanya sebesar itulah yang berhak diterima untuk biaya transpor.
Menentukan tingkat perjalanan dinas bagi pegawai tidak
tetap
Pegawai Tidak Tetap adalah Pegawai yang diangkat untuk
jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang
bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan organisasi dalam kerangka sistem kepegawaian, yang tidak berkedudukan
sebagai pegawai negeri. Tingkat perjalanan dinas untuk pegawai tidak tetap
belum diatur khusus baik di Peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Penyetaraan tingkat biaya perjalanan dinas pegawai tidak
tetap diserahkan kepada KPA (Pasal 10 ayat (4) PMK 113/PMK.05/2012).
Menurut hemat penulis, ke depan perlu ada kebijakan dalam menentukan
tingkat perjalanan dinasnya. Misalnya untuk lulusan SMU atau yang
sederajat, Diploma I atau Diploma III maka menggunakan tingkat perjalanan dinas
setara golongan II. Lulusan setara S1/DIV/S2 menggunakan tingkat perjalanan
dinas golongan III. Klasifikasi lainnya bisa berdasarkan tingkat
kesulitan atau karakteristik tugas yang diberikan.
Simpulan
Pada dasarnya semua pihak yang diperintahkan untuk
melaksanakan perjalanan dinas yang dibiayai dari APBN, maka dapat dibayarkan
haknya. Begitu juga pihak selain pejabat negara/pegawai/pegawai tidak tetap.
Penentuan tingkat perjalanan dinasnya dapat menggunakan tingkat perjalanan
dinas pegawai tidak tetap seperti uraian sebelumnya.
Permasalahan dalam pelaksanaan perjalanan dinas tentu akan
terus ditemukan dan tidak terbatas pada uraian di atas. Solusi atas
permasalahan dalam pelaksanaan perjalanan dinas dan pembayarannya diperlukan
karena perjalanan yang sudah dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan secara
akuntabel. Akuntabiitas dalam hal ini meliputi dua segi. Pertama, dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang ada sehingga tidak merugikan keuangan negara
(APBN). Kedua, pejabat negara/pegawai negeri/pegawai tidak tetap yang
melaksanakan perjalanan dinas mendapatkanhaknya.
Bahan Bacaan :
Peraturan Menteri Nomor 113/PMK.05/2012 Tentang
Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai
Tidak Tetap
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
Per-22/PB/2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Dinas Dalam Negeri
Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap
0 komentar:
Post a Comment